Dilema Tahun Baru
Tanggal 31 Desember adalah hari ini, yang artinya kita sudah ada di penghujung akhir tahun lagi. Waktu itu relavan kata Einstein, kalo kataku tahun ini rasanya menjadi tahun refleksiku yang paling banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tahun 2021 merupakan salah satu tahun dimana kita dilanda banyak sekali krisis, namun kita semua saat ini masih ada disini merupakan salah satu privilage yang diberikan Tuhan. Tahun ini aku banyak disukusi dengan Tuhan terkait hal yang menjadi fenomena dunia lalu masuk kedalam kehidupanku. Aku menangis cukup banyak tahun ini, namun aku juga banyak tertawa. Hal yang aku pikir akan lebih lama bertahan ternyata lebih cepat pergi dari dugaanku, sehingga aku mulai sadar betul bahwa apapun itu dapat direnggut tiba-tiba dariku. Aku mulai bersikap santai dengan itu, namun tetap saja jika hal itu mendekat rasa takutku tetap ada disana. Ya mungkin karena aku hanya manusia. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan menunggu dan bersabar serta menjalani hari-hari selanjutnya. Solusinya ya waktu itu sendiri. Ketika orang-orang sibuk dengan mengisi waktu mereka dihari akhir tahun ini dengan berbagai macam kegiatan dan beberapa dari mereka mungkin sudah menyusun apa yang seirng disebut dengan 'Resolusi'. Menurut KBBI definisi/arti kata 'resolusi' di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah /résolusi/ n putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan. Hal yang dapat digaris bawahi adalah kata perminataan, putusan, dan tuntutan yang berarti seseorang itu mulai menyusun dan memutuskan permintaan mereka di tahun selanjutnya. Kalau kata beberapa orang hal ini diperlukan untuk menjadi acuan kita terkait apa yang ingin kita lakukan untuk memenuhi tuntutan dari permintaan diri kita sendiri. Sehingga ketika itu tercapai maka resolusi kita berhasil bekerja dengan baik. Aku sendiri merupakan orang yang tidak terlalu sering membuat resolusi, walaupun aku setuju dengan tujuan dan manfaat adanya hal tersebut untuk menjadi reminder kepada kita agar masih sesuai dengan track kita. Tapi aku yakin setiap individu memiliki suatu rencana hidup mereka walaupun itu tidak tertuang secara gamblang sebagai resolusi tahun baru mereka. Mungkin semenjak adanya media dimana semua dapat terkoneksi hal ini menjadi suatu tradisi dan fenomena perilaku bagi seseorang untuk melakukannya. Jujur saja saya merupakan salah satu orang yang cukup sering mengonsumsi media sosial salah satunya twitter. Tidak sering banyak yang memposting gambar terkait pertanyaan apa resolusi kita. Hal itu ketika saya temukan sedikit membuat saya terhenti untuk berpikir sejenak "hmm apa ya resolusi saya?", sepertinya ada kekuatan tersendiri untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, kalau tidak menjawab saya merasa saya tidak memiliki resolusi atau rencana kedepan. Mungkin saat itu saya tidak memiliki bayangan apa-apa terhadap apa yang saya lakukan setelah hari ini, atau mungkin saya merupakan tipe orang yang hanya menjalani hari demi hari sebaik saya, sehingga apa yang saya dapatkan kedepannya merupakan hasil dari apa yang saya lakukan saat ini. Namun muncul pernyataan "Kan tidak ada salahnya membuat rencana atau resolusi hidup, toh kalau tidak terwujud ya tidak apa-apa, karena itu masih suatu rencana saja". Beberapa orang berpendapat hal itu lumrah-lumrah saja terjadi karena mungkin hal yang diperdebatkan disini adalah ketika satu sisi merupakan orang yang memiliki visi mereka harus tuangkan dalam sebuah rencana hidup, disisi lain mereka tidak terlalu serta merta semuanya harus ditulis berdasarkan visi mereka, karena pada dasarnya manusia hidup diwaktu saat ini. Ketika saya mengamati kedua hal ini pembeda yang paling signifikan adalah bagaimana mereka memandang suatu 'kekecewaan' itu sendiri. Ya kekecawaan, tubuh dan emosi manusia memiliki perbedaan dalam menanggapai suatu kekecewaan dalam hidup, dimana suatu hal tidak berjalan seperti yang mereka harapkan. Hal ini disebabkan karena muncul kalimat retorik 'apa yang didapatkan ketika berharap?' ya jawabannya pasti harapan tersebut tercapai atau sebaliknya. Manusia memiliki pandangan berbeda terhadap harapan, ada yang mengangapnya sebagai suatu hal yang diperlukan setiap saat karena itu salah sati faktor kenapa manusia bisa hidup sampai saat ini, dan ada yang menganggapnya itu hanya sebuah alternatif pelarian pikiran kita untuk mengihdari pikiran negatif lainnya, sehingga esensi tersebut tidak menjadi basis prinsip hidup seseorang. Faktor lain yang mempengaruhi dari penilaian ini juga merupakan persepsi mereka yang terbentuk dari latar belakang yang berbeda dan pengalaman hidup yang berbeda pula, sehingga masing-masing merupakan individu yang tangguh namun jika diterapkan formula yang sama maka hasil yang keluar akan jauh berbeda. Mungkin kedua hal tersebut masih menjadi dilema bagi beberapa orang saat ini, terutama bagi mereka yang sedang asik mencari jati diri mereka. Dalam presepsi saya, kedua hal tersebut tidak terlalu penting untuk diperdebatkan, karena ya memang bukan hal yang patut diperdebatkan karena setiap orang berbeda dan memiliki pilihan masing-masing. Kalau saya bisa tutup tulisan ini mungkin lakukan saja apa yang kita ingin lakukan, ketika sesuatu hal dibutuhkan dengan rinci ya tidak mengapa jika kita menyusun rencana hidup secara detail, lalu jika kita merasa hal itu tidak terlalu dibutuhkan saat ini, ya coba refleksikan dahulu apa yang kita benar-benar butuhkan dalam hidup, karena dalam merencakan sesuatu tidak ada kata terlambat melakukannya. Semua itu tergantung dari kesehatan mental dan pikiran kita.
0 comments